Hai! Anda tahu buku “Kitab Muhammad An-Nabi”? Secara umum, buku tersebut adalah buku yang membahas Piagam Madinah atau Shahifah Yatsrib yang notabene adalah salah satu dokumen politik Islam awal. Buku tersebut ditulis oleh Mohammad Ziyyul Haq Syamsul Falahi dan Ahmad Lutfi.
Pada artikel ini, ada beberapa hal penting tentang plobem penerjemahan dalam buku “Kitab Muhammad An-Nabi” yang akan saya jelaskan pada artikel ini. Beberapa hal penting yang saya maksud adalah sebagai berikut:
- Gambaran Umum Buku “Kitab Muhammad An-Nabi”.
a. Bab I buku “Kitab Muhammad An-Nabi”.
b. Bab II Buku “Kitab Muhammad An-Nabi”.
c. Bab III Buku “Kitab Muhammad An-Nabi”.
d. Bab IV Buku “Kitab Muhammad An-Nabi”.
e. Bab V Buku “Kitab Muhammad An-Nabi”. - Problem Penerjemahan dalam Buku “Kitab Muhammad An-Nabi” dan Penyempurnaannya
a. Problem Penerjemahan Kalimat “كِتَابٌ مِنْ مُحَمَّدٍ” dalam Teks Awal Piagam Madinah atau Shahifah Yatsrib.
b. Problem Penerjemahan Kata “بَطْنٌ”.
Gambaran Umum Buku “Kitab Muhammad An-Nabi”
Hal penting pertama tentang problem penerjemahan dalam buku “Kitab Muhammad An-Nabi” yang akan saya jelaskan sekarang adalah gambaran umum buku “Kitab Muhammad An-Nabi”. Saya ingin menjelaskan itu terlebih dahulu agar Anda paham apa yang dibahas oleh dua penulis buku ini, Ziyyul Haq dan Ahmad Lutfi.
Secara umum, buku “Kitab Muhammad An-Nabi” yang memiliki 314 halaman ini memiliki lima bab pembahasan di dalamnya:
a. Bab I buku “Kitab Muhammad An-Nabi”.
Pada bab satu, bab pendahuluan, dua penulis buku berusaha menjelaskan lima hal pokok yang perlu mereka anggap sebagai hal-hal yang perlu dipahami oleh pembaca untuk memahami urgensitas kajian Shahifah Yatsrib, yang dibahasakan dengan “Kitab Muhammad An-Nabi” dalam buku ini. Kelima hal tersebut adalah latar belakang atau motif kajian, aneka model pemikiran ide kesatuan umat, arah baru pembahasan ide kesatuan umat, batasan pembahasan ide kesatuan umat dalam Shahifah Yatsrib, dan urutan pembahasan arah baru ide kesatuan umat.
Meskipun pada bab pertama ini ada lima hal pokok yang telah dijelaskan oleh dua penulisnya, tapi intinya hanya satu; mereka berdua berusaha meyakinkan pembaca tentang urgensitas kajian tentang Shahifah Yatsrib, terutama tentang apa yang telah mereka tuliskan dalam buku ini.
Sebagai contoh, pada sub bab pertama, pada latar belakang kajian, dua penulis berusaha mengungkap beberapa fenomena sejarah yang mereka anggap sebagai kekurangan, seperti sikap tujuh orang ahli agama di Madinah (sab’atu fuqahâ’i al-Madînah) yang tidak menjadikan Shahifah Yatsrib sebagai dasar pemerintahan Islam, yang dalam buku ini dibahasakan sebagai “dasar tatanan dunia Islam”. Selain itu, dua penulis buku ini juga menyayangkan sikap Ibnu Katsir yang tidak menggunakan Shahifah Yatsrib sebagai metode untuk menafsirkan al-Quran, melainkan hadits Nabi Muhammad.
Bagi dua penulis buku ini, dua fenomena sejarah di atas telah memberi dampak yang sangat krusial. Fenomena pertama, yang berkaitan dengan tujuh orang ahli agama di Madinah, telah memberi dampak krusial pada tatanan politik dan masyarakat, dengan bergesernya sistem pemilihan secara musyawarah menjadi sistem dinasti. Sedangkan femonena pertama, yang berkaitan dengan Ibnu Katsir, telah memberi dampak krusial pada metodologi kajian Islam, dengan bergesernya status hadits yang awalnya sebagai rekam jejak kehidupan Nabi Muhammad, menjadi dasar hukum Islam. [Ziyyul Haq dan Ahmad Lutfi, Kitab Muhammad An-Nabi, Waskita Jawi Publishing, tanpa keterangan tahun dan cetakan, Hal. 16-18].
b. Bab II Buku “Kitab Muhammad An-Nabi”.
Pada bab dua dua penulis buku ini berusaha menjelaskan hal-hal yang mengitari kehidupan Nabi Muhammad di Makkah, seperti kondisi sosial di Makkah tahun 615-619 M., tradisi pesugihan di Makkah yang pada saatnya ditentang oleh ajaran Islam, intrik perebutan tahta kepala suku, dan lain sebagainya, dan kondisi yang terjadi di Madinah yang pada saatnya memantik terjadinya baiat Aqobah I dan II, seperti perseteruan di internal Madinah, proses mengungsi ke Madinah, dan lain sebagainya.
c. Bab III Buku “Kitab Muhammad An-Nabi”.
Pada bab tiga dua penulis buku ini berusaha menjelaskan dimensi maknawi Shahifah Yatsrib. Karena itulah, pada bab ketiga ini mereka berusaha menjelaskan siapa saja yang terlibat dalam pembuatan Shahifah Yatsrib, terjemahan kata dan istilah dalam teks Shahifah Yatsrib, letak geografis, suku-suku, agama, dan kepercayaan pihak-pihak yang telibat dalam Shahifah Yatsrib.
Selain itu, dua penulis juga menjelaskan beberapa ekspedisi militer yang diperintahkan Nabi Muhammad setelah Shahifah Yatsrib dibuat, baik itu untuk keperluan memperluas daerah kekuasaan dengan mengajak pihak-pihak luar yang belum tergabung, atau untuk memberitahu pihak-pihak luar agar tidak membantu kaum Quraisy Makkah. Baik itu untuk mempertahankan hak, seperti yang kejadian yang memicu terjadinya perang Badar I, atau untuk, di antaranya, memberitahu kekuatan kaum Muslim di Madinah kepada kaum Quraisy di Makkah, yang ditandai dengan terjadinya perang Badar II.
d. Bab IV Buku “Kitab Muhammad An-Nabi”.
Pada bab empat, secara umum, dua penulis buku ini berusaha menjelaskan hubungan antara Shahifah Yatsrib dan al-Quran. Mereka berkesimpulan, bahwa ada hubungan yang sangat erat antara dua hal itu. Hubungannya adalah hubungan antara sesuatu yang pokok dan sesuatu yang cabang. Bagi mereka, Shahifah Yatsrib adalah sesuatu yang pokok (ushûl), sedangkan al-Quran adalah cabangnya (furû’). Bagi mereka berdua, turunnya al-Quran Madaniyah (ayat-ayat yang turun di Madinah) adalah mengawal kesepakatan-kesepakatan yang telah termaktub dalam Shahifah Yatsrib. [Ziyyul Haq dan Ahmad Lutfi, Hal. 250].
Sebenarnya, selain menjelaskan hubungan antara Shahifah Yatsrib dan al-Quran, pada bab keempat, dua penulis juga menjelaskan proses peralihan Madinah yang sebelumnya adalah daerah badâwah yang dihuni secara nomaden oleh penduduknya, menjadi daerah yang berperadaban, yang mempunyai batas wilayah dengan diketahuinya wilayah-wilayah yang bergabung menjadi anggota perjanjian dalam Shahifah Yatsrib, yang mempunyai identitas, variasi pekerjaan, dan aturan yang disepakati oleh semua unsur yang ada di dalamnya.
Selain itu, pada bab empat dua penulis juga menjelaskan tentang hal-hal yang mereka anggap tabuh, yang telah dilakukan oleh para ahli hadits (Muhadditsîn)dan para ahli ilmu kalam (Mutakallimîn). Tepatnya, dua penulis menganggap bahwa kehadiran mereka telah menenggelamkan semangat kemanusiaan yang pernah dirintis oleh Nabi Muhammad masa Madinah. Itu ditandai dengan dijadikannya hadits sebagai sumber hukum Islam pada masa dinasti Umaiyah dan tersekat-sekatnya identitas kaum muslim menjadi Syiah, Khawarij, Ahli Sunnah, dan Muktazilah. Kendati dua penulis buku ini menganggap itu sebagai sisi negatif dalam sejarah Islam, tapi keduanya tidak menampik fakta, bahwa kedua kelompok tersebut juga telah memberi sumbangsih intelektual dalam bagi peradaban Islam. [Ziyyul Haq dan Ahmad Lutfi, Hal. 271-276].
Selain itu, pada bab keempat, dua penulis buku ini juga menjelaskan kerancuhan penubuhan Syariat dalam undang-undang dasar dan kerancuhan ide Khilafah dalam gerakan Islam. [Ziyyul Haq dan Ahmad Lutfi, Hal. 277-284.].
e. Bab V Buku “Kitab Muhammad An-Nabi”.
Pada bab lima, bab penutup, dua penulis buku ini berusaha menyimpulkan apa yang telah mereka kaji pada bab-bab sebelumnya. Beberapa hal yang mereka simpulkan adalah, bahwa problem dakwah Islam pada periode Makkah dan Madinah adalah kemanusiaan. Bahwa, yang menjadi tujuan utama dakwah Islam Islam pada dua periode tersebut adalah lebih menjunjung kemanusiaan dan menghentikan segala bentuk ritual dan tindakan yang bertentangan dengan asas kemanusiaan, seperti membunuh budak untuk persembahan, membunuh bayi perempuan, menghentikan perang saudara, dan lain sebagainya. Pada bab penutup ini dua penulis juga menekankan hubungan antara Shahifah Yastrib dan al-Quran sebagaimana yang telah saya jelaskan sebelumnya. [Ziyyul Haq dan Ahmad Lutfi, Hal. 287-289.].
Itulah penjelasan singkat tentang gambaran umum buku “Kitab Muhammad An-Nabi.”
Problem Penerjemahan dalam Buku “Kitab Muhammad An-Nabi” dan Penyempurnaannya
Hal penting kedua tentang problem penerjemahan dalam buku “Kitab Muhammad An-Nabi” yang akan saya jelaskan sekarang adalah problem penerjemahan kalimat “كِتَابٌ مِنْ مُحَمَّدٍ” dan kata “بَطْنٌ”.
“Sebenarnya, saya menemukan banyak problem penerjemahan lain dalam buku “Kitab Muhammad An-Nabi” ini. Jika Anda ingin mengetahuinya, silahkan tulis di kolom komentar agar saya tahu apakah problem penerjemahan dalam buku ini perlu dikuak lebih lanjut atau tidak.”