Halo! Sudah sangat lama saya tidak mempublikasi artikel apapun di website ini. Ada banyak kesibukan yang menyebabkan saya tidak bisa mengurus website ini. Nah, pada kesempatan ini, saya akan mencoba untuk mempublikasikan sebuah artikel singkat tentang problem kapabilitas Imaduddin Utsman al-Bantanie dalam memahami literasi berbahasa Arab.
Sosok Imaduddin Utsman al-Bantanie yang saya maksud di sini adalah KH. Imaduddin Utsman yang telah menulis buku “Terputusnya Nasab Habaib Kepada Nabi Muhammad SAW”. Saya tidak akan menulis hal-hal yang berkaitan dengan pribadinya. Pada artikel ini, saya hanya akan membaca kapabilitasnya dalam memahami literasi berbahasa Arab. Dan, untuk itu, saya menjadikan buku tersebut sebagai dasar untuk menulis tema utama dalam artikel ini.
Daftar Isi
Kapabilitas Pemahaman Terhadap Literasi Berbahasa Arab
Hal penting pertama tentang problem kapabilitas Imaduddin Utsman al-Bantanie dalam memahami literasi berbahasa Arab yang akan saya jelaskan sekarang adalah arti kapabilitas pemahaman terhadap literasi berbahasa Arab dan bagaimana kapabilitas tersebut bisa dimiliki. Bagi saya, dua hal tersebut adalah dua hal dasar yang harus dipahami terlebih dahulu sebelum memahami tema utama dalam artikel ini.
1. Apa Itu Kapabilitas Pemahaman Terhadap Literasi Berbahasa Arab?
Jika Anda ingin memahami arti kalimat “Kapabilitas Pemahaman Terhadap Literasi Berbahasa Arab”, Anda harus memahami tiga kata kuci di bawah ini terlebih dahulu:
• Kapabilitas.
• Pemahaman.
• Literasi.
Secara bahasa, kapabilitas adalah kemampuan untuk melakukan sesuatu.1 Jika kata tersebut berkaitan dengan kemampuan, maka kata tersebut berkaitan erat dengan kualitas dan kepandaian seseorang dalam melakukan suatu hal.
Baca Juga:
Getir Hadits dan Ilmu Hadits dalam Pikiran Imaduddin Utsman Al-Bantanie
Sebagai contoh, jika Anda membaca kalimat “Budi mempunyai kapabilitas untuk menjadi pemimpin”, maka arti kalimat tersebut adalah “Budi mempunyai kemampuan, kualitas, dan kepandaian untuk menjadi pemimpin”. Jika Anda membaca kalimat “Budi tidak kapabel untuk melakukan suatu hal”, maka arti kalimat tersebut adalah “Budi tidak mempunyai kemampuan, kualitas, dan kepandaian untuk melakukan suatu hal”.
Adapun arti kata “pemahaman”, secara bahasa, adalah proses, cara, perbuatan memahami atau memahamkan.2 Kata tersebut berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk bisa menguraikan atau menginterpretasikan suatu hal. Anda layak disebut memahami sesuatu jika Anda bisa menguraikan atau meninterpretasikan sesuatu. Tentunya, uraian atau interpretasi yang dimaksud di sini adalah uraian atau interpretasi yang paling argumentatif dan referensial sesuai standar ilmu (jika itu berkaitan dengan ilmu).
Adapun arti kata “literasi”, dulu, adalah kemampuan membaca dan menulis. Tapi arti kata tersebut mengalami perluasan arti. Sekarang, kata tersebut juga memiliki arti “pengetahuan atau keterampilan dalam bidang atau aktivitas tertentu” dan “kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup”.3
Tentunya, saya tidak sedang ingin mengajak Anda untuk perluasan arti kata “literasi” untuk kemudian kita pilih dan kita sepakati satu arti yang paling obyektif untuk kata tersebut. Itu akan membutuhkan banyak sekali waktu dan tidak terlalu urgen jika dibahas dalam artikel ini. Di sini, saya ingin mengatakan bahwa arti kata “literasi” yang saya gunakan dalam artikel ini adalah “kemampuan membaca dan menulis”.
Sekarang, apa arti kapabilitas pemahaman terhadap literasi berbahasa Arab?
Tentunya, jika Anda memahami uraian-uraian singkat tentang tiga kata kuci di atas (kapabilitas, pemahaman, dan literasi), Anda bisa menyimpulkan bahwa yang dimaksud kapabilitas pemahaman terhadap literasi berbahasa Arab adalah kemampuan, kualitas, dan kepandaian dalam menguraikan atau menginterpretasikan tulisan berbahasa Arab.
Jadi, jika Anda melihat kalimat “kapabilitas Imaduddin Utsman al-Bantanie dalam memahami literasi berbahasa Arab” dalam kalimat “Problem Kapabilitas Imaduddin Utsman Al-Bantanie dalam Memahami Literasi Berbahasa Arab”, yang menjadi tema dalam penulisan artikel ini, maka kalimat tersebut, yang pertama kali saya sebutkan” memiliki arti “kemampuan, kualitas, dan kepandaian Imaduddin Utsman al-Bantanie dalam menguraikan atau menginterpretasikan tulisan berbahasa Arab”.
2. Bagaimana Kapabilitas Pemahaman Terhadap Literasi Berbahasa Arab Bisa dimiliki?
Sekarang, jika yang dimaksud kapabilitas pemahaman terhadap literasi berbahasa Arab adalah kemampuan, kualitas, dan kepandaian dalam menguraikan atau menginterpretasikan tulisan berbahasa Arab, maka bagaimana kabalitas tersebut bisa dimiliki?
Sebelum saya menjelaskan jawaban untuk pertanyaan tersebut, saya akan memberi Anda contoh bagaimana memahami teks Arab secara akurat. Ngomong-ngomog, apakah Anda masih ingat teks di bawah ini:
هَذَا كِتَابٌ مِنْ مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ مِنْ قُرَيْشٍ وَأَهْلِ يَثْرِبَ , وَمَنْ تَبِعَهُمْ فَلَحِقَ بِهِمْ , فَحَلَّ مَعَهُمْ وَجَاهَدَ مَعَهُمْ
Atau teks di bawah ini:
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ هَذَا كِتَابٌ مِنْ مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ بَيْنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ مِنْ قُرَيْشٍ وَأَهْلِ يَثْرِبَ , وَمَنْ تَبِعَهُمْ فَلَحِقَ بِهِمْ , فَحَلَّ مَعَهُمْ وَجَاهَدَ مَعَهُمْ
Dua teks di atas adalah redaksi awal Shahifah Yatsrib atau Piagam Madinah. Perbedaannya, teks yang pertama saya kutip adalah riwayat versi Ibnu Zanjuwaih.4 Sedangkan teks yang kedua adalah riwayat versi Ibnu Katsir.5
Di sini saya tidak sedang mengajak Anda untuk memahami semua kalimat yang ada dalam dua redaksi awal Shahifah Yatsrib atau Piagam Madinah tersebut. Secara umum, semua kalimat tersebut bisa dipahami dengan mudah. Tapi saya melihat ada satu kalimat yang sangat rentan disalahpahami. Kalimat tersebut adalah كِتَابٌ مِنْ مُحَمَّدٍ.
Secara umum, jika kata كِتَابٌ dalam kalimat tersebut terjemahkan sebagai “kitab” atau “buku” sebagaimana arti yang ada dalam beragam kamus-kamus, lantas apakah yang dimaksud dengan “kitab” atau “buku” dalam model penerjemahan seperti itu menyiratkan pemahaman tentang bentuk kitab atau buku yang dipahami pada zaman ini?
Jika yang dimaksud dengan kata كِتَابٌ adalah bentuk kitab atau buku yang di pahami pada zaman ini, maka saya pribadi merasa kurang nyaman dengan penerjemahan seperti itu. Ada beberapa hal yang membuat saya merasa kurang nyaman:
Satu: aklamasi para sejarawan, bahwa mayoritas Arab pada waktu itu adalah bangsa yang tidak bisa membaca dan menulis. Artinya, mayoritas mereka kurang mengenal alat, kegiatan, dan hasil tulis-menulis. Apalagi, bahwa al-Quran telah menyifati Nabi Muhammad sebagai Nabi yang tidak bisa membaca dan tidak bisa menulis (al-Ummi).
Dua: al-Quran pada masa Nabi Muhammad tidak ditulis dalam bentuk kitab atau buku sebagaimana kitab dan buku yang kita pahami sekarang, melainkan dalam bentuk lembaran-lembaran, di atas kayu-kayu, dan batu-batu.
Tiga: secara keseluruhan, jika kita melihat teks Shahifah Yatsrib dari awal hingga akhir, maka ketebalannya hanya sebatas dua halaman, sebagaimana yang bisa kita temukan dalam buku al-Amwâl karya Ibnu Zanjuwaih. Tentu jumlah halaman seperti itu kurang pantas jika dipahami sebagai sebuah kitab atau buku seperti yang kita pahami sekarang.
Dengan mempertimbangkan tiga hal di atas, saya pribadi menolak menerjemahkan kata كِتَابٌ dalam kalimat كِتَابٌ مِنْ مُحَمَّدٍ boleh diterjemahkan sebagai “kitab” atau “buku” “kitab dari Muhammad”. Saya lebih menerima jika penerjemahan kata كِتَابٌ مِنْ مُحَمَّدٍ sebagai peraturan atau kewajiban yang telah dibuat oleh Nabi Muhammad. Ada dua hal yang membuat saya lebih memilih itu:
Satu: dalam al-Quran terdapat kalimat كُتِبَ عَلَيْكُمْ الصِّيَامُ yang berarti, “telah diwajibkan puasa atas kalian semua”.6
Dua: isi teks Shahifah Yastrib adalah kumpulan peraturan-peraturan yang harus disepakati oleh semua pihak yang tergabung di dalamnya.
Sekarang, bagaimana kapabilitas pemahaman terhadap literasi berbahasa Arab bisa dimiliki?
Sejujurnya, saya belum menemukan satupun cendikiawan yang secara spesifik menjelaskan cara agar seseorang mendapatkan kapabilitas pemahaman terhadap literasi berbahasa Arab. Jadi, saya hanya bisa menerka-nerka apa saja yang harus dilakukan seseorang untuk mendapatkan kapabilitas tersebut—apalagi fakta bahwa kapabilitas adalah kemampuan yang sudah tentu mengalami perkembangan dan penyusutan yang dipengaruhi dengan faktor-faktor yang ada di luar pemiliknya.
Adapun beberapa hal yang bisa saya simpulkan untuk mendapatkan kapabilitas pemahaman terhadap literasi berbahasa Arab adalah sebagai berikut:
- Memahami penjelasan kamus arti kata perkata kalimat yang dibahas.
- Memahami referensi-referensi lain, seperti al-Quran, hadits, dan lain sebagainya tentang kata atau kalimat yang dibahas, jika memang kata atau kalimat tersebut dibahas dalam referensi-referensi tersebut.
- Memahami pendapat-pendapat cendikiawan tentang arti kata atau kalimat yang sedang dibahas.
- Memahami konteks kata atau kalimat tersebut dibicarakan.
Tentunya, empat hal di atas bukanlah standar minimal untuk mendapatkan kapabilitas pemahaman terhadap literasi berbahasa Arab. Jadi, seorang pengkaji tidak boleh membatasi diri dari hal-hal lain untuk mendapatkan kapabilitas tersebut. Tapi setidaknya empat hal itulah yang harus dilakukan.
Urgensi Akurasi Pemahaman Terhadap Literasi Berbahasa Arab bagi Kajian Keislaman
Hal penting kedua tentang problem kapabilitas Imaduddin Utsman al-Bantanie dalam memahami literasi berbahasa Arab yang akan saya jelaskan sekarang adalah urgensi akurasi pemahaman terhadap literasi berbahasa Arab bagi kajian keislaman.
Saya kira tidak ada kata kunci yang harus dijelaskan dari kalimat “urgensi akurasi pemahaman terhadap literasi berbahasa Arab bagi kajian keislaman”. Secara simpel, kita bisa menyimpulkan bahwa yang dimaksud kalimat tersebut adalah, bahwa ketepatan interpretasi terhadap literasi berbahasa Arab bagi kajian keislaman sangat penting untuk diwujudkan.
Sebenarnya, penjelasan arti kata كِتَابٌ dalam kalimat كِتَابٌ مِنْ مُحَمَّدٍ sebagaimana yang telah saya jelaskan di beberapa paragraf sebelumnya sudah bisa memberi Anda penjelasan tentang urgensi akurasi pemahaman terhadap literasi berbahasa Arab bagi kajian keislaman. Jika Anda menginginkan penjelasan yang lain, perhatikan hadits di bawah ini!
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَثَلُ أَهْلِ بَيْتِي كَمَثَلِ سَفِينَةِ نُوحٍ مَنْ رَكِبَهَا نَجَا ، وَمَنْ تَخَلَّفَ عَنْهَا غَرِقَ
Rasulullah Saw. bersabda, “Perumpamaan keluargaku seperti perumpamaan kapal Nuh. Barangsiapa yang menaikinya, maka dia akan selamat. Barangsiapa yang tertinggal darinya, maka dia akan tenggelam.”
Di sini saya tidak sedang mengajak Anda untuk melihat perbedaan pendapat para pakar hadits tentang status hadits tersebut. Ada banyak perbedaan pendapat tentang validitas mata-rantai (sanad) hadits tersebut. Sebagai contoh, imam al-Hakim mengatakan bahwa mata-rantai hadits tersebut shahih, imam as-Suyuthi mengatakan bahwa status mata rantai hadits tersebut adalah hasan. Bahkan, hadits tersebut adalah hadits shahih menurut syarat-syarat imam Muslim.7 Tapi saya hendak mengajak Anda untuk melihat validitas redaksi hadits tersebut dalam konteks kesejarahan.
Ngomong-ngomong, apakah Anda masih ingat peristiwa tragis dalam sejarah Islam yang terjadi pada hari Jumat, 10 Muharram, 61 hijriah? Pada hari, tanggal, dan tahun tersebut Husain bin Ali dan 72 pengikutnya (menurut riwayat yang valid) dibantai di Karbala. Setelah mereka dibantai, kepala mereka dipenggal.
Dalam konteks kesejarahan, pembantaian yang dialami 72 pengikut Husain bin Ali menjadi bukti bahwa tidak semua orang yang ikut kapal nabi Nuh, yang dinahkodai keluarga Nabi Muhammad, Husain bin Ali dalam konteks ini, bisa selamat. Logika orang normal, siapapun dia, tidak akan menyimpulkan bahwa pembantaian yang mereka alami adalah keselamatan bagi mereka. Jadi, dalam konteks kesejarahan, kalimat مَنْ رَكِبَهَا نَجَا (Barangsiapa yang menaikinya, maka dia akan selamat) tidak menemukan relevansinya. Artinya, hadits di atas tidak lolos verifikasi sejarah sehingga sangat berbahaya jika digunakan untuk pegangan hidup, kecuali jika Anda mampu memberi penjelasan yang sangat logis bahwa yang dimaksud selamat dalam arti kata نَجَا adalah selamat di akhirat, bukan selamat di dunia dan akhirat, apalagi hanya selamat di dunia. Tapi, apakah mungkin Anda bisa melakukannya?!
Anda masih menginginkan penjelasan yang lain, oke! Perhatikan hadits di bawah ini!
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عنْهمَا: أنَّه سُئِلَ عن قَوْلِهِ: {إِلَّا المَوَدَّةَ في القُرْبَى} – فَقالَ سَعِيدُ بنُ جُبَيْرٍ: قُرْبَى آلِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ – فَقالَ ابنُ عَبَّاسٍ: عَجِلْتَ إنَّ النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ لَمْ يَكُنْ بَطْنٌ مِن قُرَيْشٍ ، إلَّا كانَ له فيهم قَرَابَةٌ، فَقالَ: إلَّا أنْ تَصِلُوا ما بَيْنِي وبيْنَكُمْ مِنَ القَرَابَةِ
Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma, bahwa dia ditanya tentang firman Allah “Kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan (إِلَّا المَوَدَّةَ في القُرْبَى). Said bin Jubair lalu berkata, “Yang dimaksud القُرْبَى adalah keluarga Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.” Ibnu Abbas lalu berkata, “Kamu terburu-buru. Sesunggunya Nabi shallallahu alihi wa sallam, tidaklah ada cabang bathn dari kabilah Quraisy, kecuali beliau memiliki hubungan keluarga dengan mereka.” Ibnu Abbas lalu berkata (lagi), “Maksudnya adalah “Kecuali kalian menyambung hubungan kekeluargaan antara diriku dan kalian.”8
Perhatikan kata بَطْنٌ dalam kalimat بَطْنٌ مِن قُرَيْشٍ dalam hadits di atas! Secara bahasa, kata بَطْنٌ memiliki beberapa arti, seperti perut, marga, cabang, dan lain sebagainya. Jika kata بَطْنٌ di artikan sebagai perut, maka pengartian tersebut akan semakin membingungkan arti بَطْنٌ مِن قُرَيْشٍ, khususnya, dan arti hadits di atas, umumnya. Jika kata tersebut diartikan sebagai marga atau cabang, maka pengartian tersebut hanya memberi pemahaman yang sangat dangkal tentang arti kalimat بَطْنٌ مِن قُرَيْشٍ. Mengapa?
Jika Anda membaca tatanan sosial masyarakat Arab kuno lebih detail, Anda akan menemukan penjelasan bahwa komunitas Arab yang paling besar disebut asy-Sya’bu (الشَّعْبُ). Dari asy-Sya’bu muncul beberapa cabang yang sebut al-Qabîlah atau Kabilah (القَبِيْلَةُ , القَبِيْلَتَانِ , القَبَائِلُ). Dari Kabilah muncul beberapa cabang yang sebut al-Imarah (العِمَارَةُ , العِمَارَتَانِ , العَمَائِرُ). Dari al-Imarah muncul beberapa cabang yang disebut al-Bathn (البَطْنُ , البَطْنَانِ , البُطُوْنُ). Dari al-Bathn muncul beberapa cabang terakhir yang disebut al-Fakhdz (الفَخْذُ , الفَخْذَانِ , الأَفْخَاذُ).9
Jadi, jika kata بَطْنٌ hanya diartikan sebagai “cabang” sehingga arti kalimat بَطْنٌ مِن قُرَيْشٍ adalah “cabang kabilah Quraisy”, maka itu akan menyulitkan pengartian dan pemahaman terhadap kata العِمَارَةُ dan الفَخْذُ yang juga merupakan cabang suatu kabilah dan sama-sama memiliki arti cabang jika dirangkai dengan kalimat مِن قُرَيْشٍ: عِمَارَةٌ مِن قُرَيْشٍ dan فَخْذٌ مِن قُرَيْشٍ.
Dalam konteks keindonesiaan, meskipun tidak sama persis, untuk memudahkan pemahaman, kita bisa mengimajinasikan, bahwa asy-Sya’bu (الشَّعْبُ) menempati posisi bangsa atau negara, al-Qabîlah (القَبِيْلَةُ) menempati posisi provinsi, al-‘Imârah (العِمَارَةُ) menempati posisi kabupaten, al-Bathn (البَطْنُ) menempati posisi kecamatan, dan al-Fakhdz (الفَخْذُ) menempati posisi desa. Karena itulah saya lebih memilih untuk mengartikan kata بَطْنٌ dalam kalimat بَطْنٌ مِن قُرَيْشٍ sebagai “cabang bathn”, sehingga arti kalimat بَطْنٌ مِن قُرَيْشٍ yang ada dalam hadits di atas adalah “cabang bathn dari kabilah Quraisy”.
Semua yang telah saya jelaskan tentang pemahaman terhadap kata كِتَابٌ dalam kalimat كِتَابٌ مِنْ مُحَمَّدٍ, kata نَجَا dalam kalimat مَنْ رَكِبَهَا نَجَا, dan kata بَطْنٌ dalam kalimat بَطْنٌ مِن قُرَيْشٍ di atas adalah akurasi pemahaman terhadap literasi berbahasa Arab bagi kajian keislaman. Akurasi semacam itu akan memberi kita pemahaman yang sangat argumentatif dan referensial terhadap suatu teks. Karena itulah akurasi semacam itu sangat urgen untuk dilakukan.10
Saya melihat Imaduddin Utsman al-Bantanie tidak melakukan akurasi pemahaman pada banyak kata Arab yang sederhana dalam buku “Terputusnya Nasab Habaib Kepada Nabi Muhammad SAW”. Akibatnya, ada banyak kata Arab diartikan dan dipahami tidak sebagaimana mestinya. Bahkan, itu sangat menciderai beberapa disiplin ilmu Islam lain. Saya akan menjelaskan beberapa contohnya di beberapa paragraf berikutnya dan beberapa artikel berikutnya, insya Allah.
Urgensi Verifikasi Kapabilitas Imaduddin Utsman Al-Bantanie dalam Memahami Literasi Berbahasa Arab
Hal penting ketiga tentang problem kapabilitas Imaduddin Utsman al-Bantanie dalam memahami literasi berbahasa Arab yang akan saya jelaskan sekarang adalah urgensi verifikasi kapabilitas Imaduddin Utsman al-Bantanie dalam memahami literasi berbahasa Arab. Ini sangat penting untuk dilakukan karena sebuah tulisan, apapun itu, apalagi jika itu diposisikan sebagai tesis dan diklaim sebagai yang ilmiah, sangat berkaitan dengan kapabilitas penulisnya.11
Di sini saya tidak sedang mengajak Anda untuk masuk ke dalam hiruk-pikuk perdebatan tentang kesimpulan Imaduddin Utsman al-Bantanie dalam bukunya tersebut, bahwa nasab Habaib belum terkonfismasi tersambung kepada Nabi Muhammad Saw.. Pada artikel pertama tentang penulis buku ini saya hendak mengajak Anda untuk mengukur sejauh mana dia memahami literasi-literasi berbahasa Arab, yang kemudian membuatnya sampai pada kesimpulan demikian.
Jika Anda memahami apa yang telah saya jelaskan di dua paragraf di atas, Anda akan paham bahwa verifikasi kapabilitas Imaduddin Utsman al-Bantanie dalam memahami literasi berbahasa Arab ini memiliki tujuan sebagai berikut:
- Membuktikan kapabilitas Imaduddin Utsman al-Bantanie dalam memahami literasi berbahasa Arab yang dia gunakan sebagai dasar kajian. Artinya, jika memang dia memiliki kapabilitas untuk itu, maka kesimpulan yang telah dia buat terkait nasab Habaib bisa dibenarkan secara ilmu. Tapi jika yang terjadi adalah sebaliknya, maka kesimpulannya sangat patut untuk diragukan, bahkan ditolak.
- Membuktikan akurasi pemosisian tulisan Imaduddin Utsman al-Bantanie sebagai tesis dan klaim bahwa itu adalah tulisan yang ilmiah.
Bagi saya, dua hal di atas sangat penting untuk segera dilakukan mengingat tulisan Imaduddin Utsman al-Bantanie tersebut telah menjadi pemantik hiruk-pikuk perdebatan tentang validitas nasab Habaib. Tentunya, meskipun saya katakan demikian, bukan berarti saya hendak mengajak Anda untuk menghentikan perdebatan tersebut. Sebuah perdebatan yang dilakukan dengan ilmu, apapun itu, tidak boleh dihentikan, karena dengan itulah peradaban kita bisa berkembang. Jika kita menghentikan perdebatan yang seperti itu, maka itu berarti kita menghentikan perkembangan peradaban. Di sini, sekali lagi, saya hendak mengajak Anda untuk melakukan dua hal yang menjadi tujuan verifikasi kapabilitas Imaduddin Utsman al-Bantanie dalam memahami literasi berbahasa Arab.
Problem Kapabilitas Imaduddin Utsman Al-Bantanie dalam Memahami Literasi Berbahasa Arab
Hal penting keempat tentang problem kapabilitas Imaduddin Utsman al-Bantanie dalam memahami literasi berbahasa Arab yang akan saya jelaskan sekarang adalah topik utama dalam pembahasan ini. Secara spesifik, sekarang saya akan menjelaskan kesalahan Imaduddin Utsman al-Bantanie dalam memahami empat kata Arab yang sangat umum.
Tentunya, empat kata yang sangat umum, yang saya lihat telah disalahpahami Imaduddin Utsman al-Bantanie dalam buku “Terputusnya Nasab Habaib Kepada Nabi Muhammad SAW” hanyalah beberapa contoh dari seabrek kesalahan yang telah saya temukan ketika membaca buku tersebut. Beberapa kesalahan lain akan saya jelaskan di beberapa artikel berikutnya, insya Allah.
1. Problem Kapabilitas Imaduddin Utsman Al-Bantanie dalam Memahami Kata غَيْرَةٌ.
Anda bisa menemukan kata غَيْرَةٌ dalam ucapan Ibnu Hajar al-Haitami yang dikutip Imaduddin Utsman al-Bantanie di bawah ini:
يَنْبَغِي لِكُلِّ أَحَدٍ أَنْ يَكُوْنَ لَهُ غَيْرَةٌ فِي هَذَا النَّسَبِ الشَّرِيْفِ وَضَبْطُهُ حَتَّى لَا يَنْتَسِبَ إِلَيْهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَدٌ إِلَّا بِالْحَقِّ
Seyogyanya bagi setiap orang mempunyai kecemburuan terhadap nasab mulia Nabi Muhammad s.a.w. dan mendhobitnya (memeriksanya) sehingga seseorang tidak menisbatkan diri kepada Nabi Muhammad s.a.w. kecual dengan sebenarnya.12.13
“Penerjemahan di atas adalah murni penerjemahan Imaduddin Utsman al-Bantanie yang saya temukan di buku “Terputusnya Nasab Habaib Kepada Nabi Muhammad SAW”. Saya tidak melakukan perubahan sedikitpun agar verifikasi kapabilitas penulisnya dalam memahami kata غَيْرَةٌ, dan kata وَضَبْطُهُ di pembahasan selanjutnya, bisa dilakukan dengan adil.”
Jika Anda mencermati kata غَيْرَةٌ dalam ucapan Ibnu Hajar al-Haitami dan penerjemahan Imaduddin Utsman al-Bantanie di atas, Anda akan menemukan penjelasan bahwa dia menerjemahkan kata غَيْرَةٌ sebagai “kecemburuan”. Secara literal, arti kata غَيْرَةٌ memang demikian. Tapi penerjemahan yang demikian akan menimbulkan masalah yang sangat fatal ketika kata غَيْرَةٌ berada sebelum kalimat فِي هَذَا النَّسَبِ الشَّرِيْفِ. Dengan kata lain, dia telah melakukan kesalahan fatal karena dia telah memahami kata غَيْرَةٌ sebagai kecemburuan. Mengapa?
Jika Anda mencermati arti kata “kecemburuan” menurut standar bahasa Indonesia, maka Anda akan menemukan penjelasan bahwa arti kata “kecemburuan” adalah keirihatian, kesirikan, kecurigaan, kekurangpercayaan.14 Jika kalimat غَيْرَةٌ فِي هَذَا النَّسَبِ الشَّرِيْفِ diartikan “kecemburuan terhadap nasab mulia Nabi Muhammad s.a.w.” sebagaimana yang telah dilakukan Imaduddin Utsman al-Bantanie, maka itu akan memendarkan pemahaman empat pemahaman sebagai berikut:
- Keirihatian terhadap nasab mulia Nabi Muhammad s.a.w..
- Kesirikan terhadap nasab mulia Nabi Muhammad s.a.w..
- Kecurigaan terhadap nasab mulia Nabi Muhammad s.a.w..
- Kekurangpercayaan terhadap nasab mulia Nabi Muhammad s.a.w..
Pertanyaannya kemudian adalah: apakah benar empat hal di atas yang dimaksud Ibnu Hajar al-Haitami?! Secara, kalimat غَيْرَةٌ فِي هَذَا النَّسَبِ الشَّرِيْفِ adalah ucapan beliau yang telah dikutip Imaduddin Utsman al-Bantanie. Dan, apakah benar bahwa seyogyanya setiap orang iri hati, sirik, curiga, dan kurang percaya terhadap nasab mulia Nabi Muhammad s.a.w.? Secara, kalimat يَنْبَغِي لِكُلِّ أَحَدٍ أَنْ يَكُوْنَ لَهُ غَيْرَةٌ فِي هَذَا النَّسَبِ الشَّرِيْفِ diterjemahkan “Seyogyanya bagi setiap orang mempunyai kecemburuan terhadap nasab mulia Nabi Muhammad s.a.w.” oleh Imaduddin Utsman al-Bantanie?!
Tentunya, jawaban untuk dua pertanyaan di atas adalah “Tidak!”. Ibnu Hajar al-Haitami tidak pernah mengucapkan empat hal itu, dan empat hal itu tidak layak dimiliki kaum muslim. Karut-marut empat pemahaman di atas yang mengkhianati maksud Ibnu Hajar al-Haitami dan ajaran Islam bermula dari minimnya kapabilitas Imaduddin Utsman al-Bantanie ketika memahami arti kata غَيْرَةٌ yang berada sebelum kalimat فِي هَذَا النَّسَبِ الشَّرِيْفِ. Sangat kuat dugaan saya, bahwa dia menggunakan kamus Arab-Indonesia yang sangat standar, entah apa itu, untuk menerjemahkan kata dan kalimat tersebut. Inilah yang saya maksud dengan urgensi akurasi pemahaman terhadap literasi berbahasa Arab bagi kajian keislaman sebagaimana yang telah saya jelaskan di beberapa paragraf sebelumnya.
Lalu, apa arti yang akurat untuk kata غَيْرَةٌ dan kalimat يَنْبَغِي لِكُلِّ أَحَدٍ أَنْ يَكُوْنَ لَهُ غَيْرَةٌ فِي هَذَا النَّسَبِ الشَّرِيْفِ?
Sebelum saya menjelaskan jawaban untuk pertanyaan tersebut, saya akan menunjukkan satu kesalahan lain yang dilakukan Imaduddin Utsman al-Bantanie ketika memahami dan menerjemahkan kalimat يَنْبَغِي لِكُلِّ أَحَدٍ أَنْ يَكُوْنَ لَهُ غَيْرَةٌ فِي هَذَا النَّسَبِ الشَّرِيْفِ. Perhatikan dua kata النَّسَبِ الشَّرِيْفِ dalam kalimat tersebut! Penulis buku “Terputusnya Nasab Habaib Kepada Nabi Muhammad SAW” tersebut menerjemahkannya menjadi “nasab mulia Nabi Muhammad s.a.w.”.
Secara sepintas, penerjemahan النَّسَبِ الشَّرِيْفِ menjadi “nasab mulia Nabi Muhammad s.a.w.” bisa diterima. Tapi, jika kita melihat lebih detail, kita akan menemukan fakta bahwa keberadaan kalimat “Nabi Muhammad s.a.w.” dalam “nasab mulia Nabi Muhammad s.a.w.” tidak memiliki dasar teks. Jadi, sangat kuat dugaan saya, bahwa kemunculan kalimat “Nabi Muhammad s.a.w.” dalam “nasab mulia Nabi Muhammad s.a.w” karena hal di luar teks: pemahaman Imaduddin Utsman al-Bantanie yang dipengaruhi oleh hal-hal yang mengitarinya, seperti sosial, budaya, keagamaan, dan lain sebagainya. Memang benar, pemahaman terhadap teks sangat dibutuhkan untuk menerjemahkan dan memahami sebuah teks. Tapi itu bukan berarti kita boleh menambahkan hal-hal yang tidak memiliki dasar tekstualnya. Proporsionalitas dan akurasi sangat dibutuhkan di sini.
Jadi, penerjemahan النَّسَبِ الشَّرِيْفِ yang akurat, menurut saya pribadi, dengan mempertimbangkan beberapa hal di atas, adalah “nasab yang mulia”, tanpa harus menyertakan “Nabi Muhammad s.a.w.”.
Sekarang, apa arti yang akurat untuk kata غَيْرَةٌ dan kalimat يَنْبَغِي لِكُلِّ أَحَدٍ أَنْ يَكُوْنَ لَهُ غَيْرَةٌ فِي هَذَا النَّسَبِ الشَّرِيْفِ?
Jika kita melihat literasi bahasa Arab, khususnya kamus Arab-Arab, bukan Arab-Indonesia, kita akan menemukan fakta bahwa kata غَيْرَةٌ memiliki banyak sekali arti.15 Dari sekian banyak arti yang dimiliki kata tersebut, bagi saya, arti yang paling akurat untuk menjelaskan kata غَيْرَةٌ dalam kalimat يَنْبَغِي لِكُلِّ أَحَدٍ أَنْ يَكُوْنَ لَهُ غَيْرَةٌ فِي هَذَا النَّسَبِ الشَّرِيْفِ adalah sebagai berikut:
تَعَلُّقٌ شَدِيْدٌ بِشَخْصِ الْحَبِيْبِ ، وَقَلَقٌ دَائِمٌ خَشْيَةَ مَيْلِهِ لِشَخْصٍ آخَرٍ قَدْ يُشَارِكُهُ فِي حُبِّهِ
Ketertautan yang sangat dalam dengan sosok kekasih dan kegelisahan yang terus-menerus karena khawatir sosok yang dicintai akan berpaling kepada sosok lain yang terkadang menyertai dalam cintanya.
Saya katakan kalimat-kalimat di atas sebagai arti yang paling akurat untuk menjelaskan kata غَيْرَةٌ yang ada dalam kalimat yang dimaksud karena saya tidak menemukan alasan yang lebih kuat untuk memilih yang lain. Terlebih bahwa kalimat-kalimat sebelum kata tersebut (يَنْبَغِي لِكُلِّ أَحَدٍ أَنْ يَكُوْنَ لَهُ) menunjukan ada anjuran Ibnu Hajar al-Haitami agar semua kaum muslim memiliki rasa cinta yang sangat dalam pada nasab mulia.
Sekarang, jika arti kata غَيْرَةٌ dalam kalimat يَنْبَغِي لِكُلِّ أَحَدٍ أَنْ يَكُوْنَ لَهُ غَيْرَةٌ فِي هَذَا النَّسَبِ الشَّرِيْفِ adalah seperti yang saya jelaskan di atas, maka arti kata غَيْرَةٌ dalam kalimat tersebut adalah rasa cinta yang sangat dalam.
Dengan demikian, maka arti kalimat يَنْبَغِي لِكُلِّ أَحَدٍ أَنْ يَكُوْنَ لَهُ غَيْرَةٌ فِي هَذَا النَّسَبِ الشَّرِيْفِ adalah “Seyogyanya bagi setiap orang mempunyai rasa cinta yang sangat dalam pada nasab mulia.”
2. Problem Kapabilitas Imaduddin Utsman Al-Bantanie dalam Memahami Kalimat وَضَبْطُهُ.
Anda bisa menemukan kalimat وَضَبْطُهُ tepat setelah kalimat يَنْبَغِي لِكُلِّ أَحَدٍ أَنْ يَكُوْنَ لَهُ غَيْرَةٌ فِي هَذَا النَّسَبِ الشَّرِيْفِ dalam ucapan Ibnu Hajar al-Haitami yang telah dikutip Imaduddin Utsman al-Bantanie dalam bukunya tersebut.16 Jadi, sekarang saya akan mengajak Anda untuk Anda untuk memverifikasi kapabilitas penulis buku “Terputusnya Nasab Habaib Kepada Nabi Muhammad SAW” itu dalam memahami kalimat وَضَبْطُهُ secara khusus, dan ucapan Ibnu Hajar al-Haitami secara umum.
Imaduddin Utsman al-Bantanie dalam bukunya tersebut memahami dan mengartikan kalimat وَضَبْطُهُ sebagai “dan mendhobitnya (memeriksanya)”. Secara literal, pemahaman dan pengartian yang demikian menurut kamus Arab-Indonesia bisa dibenarkan, karena “memeriksa” adalah salah satu arti kata ضَبَطَ. Adapun arti-arti yang lain adalah menangkap, memegang, menawan, menghentikan, menjaga, menyita, mengurung, menampung, mengambil alih, mengontrol, mengendalikan, mengatur, menyetel, mengoreksi, dan memberi harakat.
Sepintas, pilihan Imaduddin Utsman al-Bantanie pada “dan mendhobitnya (memeriksanya)” sebagai arti kalimat وَضَبْطُهُ bisa dibenarkan. Tapi mari kita lihat lebih detail arti kata ضَبَطَ يَضْبُطُ وَيَضْبِطُ ، ضَبْطًا ، فَهُوَ ضَابِطٌ dalam literasi berbahasa Arab!
Jika kita melihat standar bahasa Arab, maka kita akan menemukan penjelasan bahwa arti kata ضَبَطَ berkisar (namun tidak terbatas) pada: حَفِظَ بِالحَزْمِ حِفْظًا بَلِيْغًا (benar-benar menjaga dengan sepenuh hati, atau kalimat dengan arti serupa), أَحْكَمَ (memperkuat, menyempurnakan, dan seterusnya), أَتْقَنَ (menguasai, mengetahui dengan baik, pandai dalam, dan seterusnya), طَابَقَ (sesuai, kompatibel, menyocoki, dan seterusnya), صَحَّحَ (mengoreksi, membetulkan, dan seterusnya), dan seterusnya.17
Di sini saya melihat bahwa Imaduddin Utsman al-Bantanie terlalu terpaku pada standar bahasa Indonesia untuk memahami dan menerjemahkan kalimat وَضَبْطُهُ. Akibatnya, dia sampai pada kesimpulan bahwa arti kalimat tersebut adalah “dan memeriksanya”. Secara sepintas, kesimpulan tersebut bisa dibenarkan karena kata ضَبَطَ juga mempunyai arti صَحَّحَ (mengoreksi, membetulkan, dan seterusnya). Tapi kata صَحَّحَ mengandaikan bahwa di sana ada kesalahan atau kemungkinan terjadinya kesalahan. Karenanya, harus ada koreksi (atau dalam bahasa Imaduddin Utsman al-Bantanie: pemeriksaan) dan pembetulan.
Selain itu, saya pribadi melihat bahwa kesadaran Imaduddin Utsman al-Bantanie tidak hadir secara penuh ketika dia memahami ucapan Ibnu Hajar al-Haitami tersebut. Ketika dia memahami dan menerjemahkan kalimat وَضَبْطُهُ, seakan-akan kesadarannya sedikit kabur bahwa sebelum kalimat وَضَبْطُهُ terdapat anjuran (يَنْبَغِي لِكُلِّ أَحَدٍ) dan setelah kalimat tersebut terdapat penjelasan tentang tujuan (حَتَّى لَا يَنْتَسِبَ إِلَيْهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَدٌ إِلَّا بِالْحَقِّ), sementara (أَنْ يَكُوْنَ لَهُ غَيْرَةٌ فِي هَذَا النَّسَبِ الشَّرِيْفِ وَضَبْطُهُ) adalah isi anjurannya.
Dengan mempertimbangkan beberapa hal di atas, tentu saya lebih memilih حَفِظَ بِالحَزْمِ حِفْظًا بَلِيْغًا (benar-benar menjaga dengan sepenuh hati, atau kalimat dengan arti serupa) untuk menjadi arti kata ضَبَطَ. Ada dua alasan mengapa saya melakukan itu:
- Nasab mulia (النَّسَبِ الشَّرِيْفِ) mengandaikan keistimewaan tertentu karena berkaitan dengan sosok agung yang menerima kenabian terakhir.
- Kalimat حَفِظَ بِالحَزْمِ حِفْظًا بَلِيْغًا (benar-benar menjaga dengan sepenuh hati, atau kalimat dengan arti serupa) sangat membuka diri bahkan menampung arti kata صَحَّحَ (mengoreksi, membetulkan, dan seterusnya), sementara arti kata صَحَّحَ tidak menampung arti kalimat حَفِظَ بِالحَزْمِ حِفْظًا بَلِيْغًا.
Dengan mempertimbangkan semua hal yang telah saya jelaskan di atas, maka saya lebih memilih menerjemahkan ucapan Ibnu Hajar al-Haitami tersebut (يَنْبَغِي لِكُلِّ أَحَدٍ أَنْ يَكُوْنَ لَهُ غَيْرَةٌ فِي هَذَا النَّسَبِ الشَّرِيْفِ وَضَبْطُهُ حَتَّى لَا يَنْتَسِبَ إِلَيْهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَدٌ إِلَّا بِالْحَقِّ) sebagai berikut:
“Seyogyanya, setiap orang mempunyai rasa cinta yang sangat dalam pada nasab mulia ini dan benar-benar menjaganya dengan sepenuh hati agar seseorang tidak menisbatkan diri kepada beliau shallahu ‘alaihi wa sallam kecuali dengan benar.”
3. Problem Kapabilitas Imaduddin Utsman Al-Bantanie dalam Memahami Kata تَأْكِيْدٌ.
Anda bisa menemukan kata تَأْكِيْدٌ18 atau yang ditulis dengan “ta’kid” dalam aksara Indonesia dalam pembahasan tentang kitab abad keenam hijriah.19 Imaduddin Utsman al-Bantanie menggunakan kata “ta’kid” untuk menjelaskan pendapat al-Fahrurazi dalam buku “asy-Syajarah al-Mubârakah”, bahwa Ahmad bin Isa tidak mempunyai anak yang bernama Ubaidullah.20
Imaduddin Utsman al-Bantanie memahami kata “ta’kid (تَأْكِيْدٌ)” sebagai “kuat”. Karena itu, secara spesifik, dia menerjemahkan kata tersebut dengan kata “kuat”. Pertanyaannya kemudian adalah: sejauh mana pemahaman sekaligus penjermahan yang seperti itu bisa dibenarkan dalam standar tranformasi bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia?
Dalam standar bahasa Indonesia, kata “kuat” memiliki banyak arti, seperti banyak tenaganya (gayanya, dayanya); mampu mengangkat (mengangkut dan sebagainya) banyak, tahan (tidak mudah patah, rusak, putus, dan sebagainya), awet, tidak mudah goyah (terpengaruh); teguh (tentang iman, pendirian, kemauan, dan sebagainya), ketat (tentang pertahanan, penjagaan, dan sebagainya), tahan (menderita sakit dan sebagainya), kencang (tentang angin), keras; nyaring, erat (tentang ikatan), mampu dan kuasa (berbuat sesuatu), dan lain sebagainya.21
Sedangkan kata “ta’kid (تَأْكِيْدٌ)”, dalam konteks pembahasan Imaduddin Utsman al-Bantanie, yang digunakan untuk menjelaskan pendapat al-Fahrurazi, menurut standar bahasa Arab, memiliki arti تَقْرِيْرٌ (ketetapan, keputusan, keterangan), تَثْبِيْتٌ (penetapan), تَوْثِيْقٌ (legalasi, penguatan), karena arti kata أَكَّدَ yang merupakan bentuk kata kerja lampau (فِعْلُ المَاضِي) memiliki arti قَرَّرَ (menetapkan, memutuskan, menerangkan), ثَبَّتَ (menetapkan), dan وَثَّقَ (menetapkan, memutuskan, menerangkan).22
Sementara itu, kata “kuat” yang menjadi pemahaman dan terjemahan Imaduddin Utsman al-Bantanie untuk kata “ta’kid (تَأْكِيْدٌ)”, dalam standar bahara Arab umum adalah قَوِيٌّ (قَوِيَ – يَقْوَى – قٌوَّةٌ – وَمَقْوًى – فَهُوَ قَوِيٌّ) bukan تَأْكِيْدٌ (أَكَّدَ – يُأَكِّدٌ – تَأْكِيْدًا – تَأْكِدَةً – تَأْكَادًا – تِئْكَادًا – مُأَكَّدًا – فُهَوَ مُأَكِّدٌ ).
Dengan mempertimbangkan beberapa data di atas, saya berani menyimpulkan bahwa pemahaman dan penerjemahan kata “ta’kid (تَأْكِيْدٌ)” sebagai “kuat” dan “kuat” sebagai “ta’kid (تَأْكِيْدٌ)”, sebagaimana yang telah dilakukan Imaduddin Utsman al-Bantanie sangat keliru dan telah menabrak standar bahasa Indonesia untuk arti kata “kuat” dan standar bahasa Arab untuk arti kata “ta’kid (تَأْكِيْدٌ)”. Ini yang pertama.
Yang kedua, oleh karena Imaduddin Utsman al-Bantanie telah melakukan kekeliruan dalam memahami dan menerjemahkan kata “ta’kid (تَأْكِيْدٌ)” sebagai “kuat” atau “kuat” sebagai “ta’kid (تَأْكِيْدٌ)”, maka kekeliruan tersebut berimbas pada pemahamannya terhadap ucapan pendapat al-Fahrurazi dalam buku “asy-Syajarah al-Mubârakah”, bahwa Ahmad bin Isa tidak mempunyai anak yang bernama Ubaidullah:
Pertama: apakah menurut Imaduddin Utsman al-Bantanie pendapat al-Fahrurazi tersebut adalah pendapat yang menetapkan, menjelaskan, menerangkan, melegalasi, atau apapun itu yang menjelaskan arti “ta’kid (تَأْكِيْدٌ)”, bahwa Ahmad bin Isa tidak mempunyai anak yang bernama Ubaidullah? Atau:
Kedua: apakah menurut Imaduddin Utsman al-Bantanie pendapat al-Fahrurazi tersebut adalah pendapat yang kuat (قَوِيٌّ), bahwa Ahmad bin Isa tidak mempunyai anak yang bernama Ubaidullah? Jika yang kedua ini adalah yang dia maksudkan, apa yang membuatnya menjadi pendapat yang kuat? Yang jelas, sosok Kyai asal Banten itu tidak pernah menjelaskannya!
Dua spekulasi di atas bersumber dari minimnya kapabilitas Imaduddin Utsman al-Bantanie dalam memahami dan menerjemahkan kata “ta’kid (تَأْكِيْدٌ)” sebagai “kuat” atau “kuat” sebagai “ta’kid (تَأْكِيْدٌ)”. Akibatnya, dua spekulasi tersebut semakin menjelaskan ketidaksiapan Imaduddin Utsman al-Bantanie dalam memahami literasi berbahasa Arab.
4. Problem Kapabilitas Imaduddin Utsman Al-Bantanie dalam Memahami Kata إِجْتِهَادٌ.
Anda bisa menemukan kataإِجْتِهَادٌ atau yang ditulis “ijtihad” dengan aksara Indonesia dalam pembahasan “Habib Ali Al-Sakran Orang Pertama yang Menyebut Nama Ubaidillah Sebagai Anak Ahmad”.23 Secara spesifik, Imaduddin Utsman al-Bantanie menulis kalimat “Lalu ia berijtihad (berasumsi)…”. Dia menggunakan kalimat tersebut untuk melabeli, bahwa Habib Ali al-Sakran berijtihad (berasumsi), bahwa Ubaidullah adalah Abdullah.
Tapi, apakah benar demikian? Apakah Imaduddin Utsman al-Bantanie paham apa yang telah dilakukan oleh Habib Ali al-Sakran kaitannya dengan “Ubaidullah” dan “Abdullah”, mengingat dia telah menulis kata “berijtihad (berasumsi)”? Spesifiknya, apakah Habib Ali al-Sakran telah berijtihad bahwa “Ubaidullah” adalah “Abdullah? Atau, apakah Habib Ali al-Sakran telah berasumsi demikian?
Di sini, saya hendak mengajak Anda untuk mengukur kapabilitas Imaduddin Utsman al-Bantani dalam memahami kata “berijtihad”: apakah arti kata tersebut adalah “berasumsi” dan arti kata “berasumsi” adalah “berijtihad”?
Dalam standar bahasa Indonesia, kata “asumsi”, atau yang dalam bahasa Arabnya adalah ظَنٌّ, memiliki arti “dugaan yang diterima sebagai dasar”, “landasan berpikir karena dianggap benar”.24 Dengan demikian, kita bisa menyimpulkan bahwa arti kata “berasumsi”, atau yang dalam bahasa Arabnya adalah ظَنَّ, adalah “menduga sesuatu yang diterima sebagai dasar atau landasan berpikir karena dianggap benar”.
Sedangkan arti kataإِجْتِهَادٌ atau “Ijtihad” menurut standar bahasa Arab adalah sebagai berikut:
القُدْرَةُ عَلَى إِسْتِنْبَاطِ الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ مِنْ مَصَادِرِهَا التَّفْصِيْلِةّ
Kemampuan untuk menemukan hukum-hukum syariat dari sumber-sumbernya yang rinci.25
Dengan mempertimbangkan arti kataإِجْتِهَادٌ atau “Ijtihad” di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa arti kata “berijtihad (اجْتَهَدَ)” adalah “mengerahkan segala kemampuan untuk menemukan hukum-hukum syariat dari sumber-sumbernya yang rinci.”
Dari sini sangat terlihat jelas, bahwa ada perbedaan antara “berasumsi (ظَنَّ)” dan “berijtihad (اجْتَهَدَ)”: “berasumsi” dilakukan atas dasar dugaan yang pada umumnya tidak berdasar, sedangkan “berijtihad (اجْتَهَدَ)” dilakukan atas dasar yang sangat kompleks (ada bisa menemukan itu dengan melihat syarat-isyarat ijtihad). Dengan demikian, maka kita bisa menyimpulkan, bahwa arti kata “berijtihad (اجْتَهَدَ)” bukan “berasumsi (ظَنَّ)” dan arti kata “berasumsi (ظَنَّ)” bukan “berijtihad (اجْتَهَدَ)”.
Pada titik ini, kita melihat lagi kekeliruan yang pernah dilakukan Imaduddin Utsman al-Bantani ketika memahami literasi berbahasa Arab. Jika sebelumnya kita telah melihat minimnya kapabilitasnya dalam memahami dan menerjemahkan kata “ta’kid (تَأْكِيْدٌ)” sebagai “kuat” atau “kuat” sebagai “ta’kid (تَأْكِيْدٌ)”, sekarang kita melihat minimnya kapabilitasnya adalah memahami dan menerjemahkan kata “berasumsi (ظَنَّ)” sebagai “berijtihad (اجْتَهَدَ)” dan sebaliknya. Tentunya, fakta yang demikian itu semakin menjelaskan ketidaksiapan Imaduddin Utsman al-Bantanie dalam memahami literasi berbahasa Arab.
Apakah Imaduddin Utsman Al-Bantanie Kapabel untuk Menggunakan Literasi Berbahasa Arab dalam Kajiannya?
Hal penting kelima tentang problem kapabilitas Imaduddin Utsman al-Bantanie dalam memahami literasi berbahasa Arab yang akan saya jelaskan sekarang adalah jawaban untuk pertanyaan: apakah Imaduddin Utsman al-Bantanie kapabel untuk menggunakan literasi berbahasa Arab dalam kajiannya?
Sejujurnya, saya merasa agak kesulitan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Di satu sisi, saya melihat ketidaksiapan Imaduddin Utsman al-Bantani dalam memahami literasi berbahasa Arab sebagaimana yang telah saya jelaskan, dan beberapa masalah lain dalam bukunya yang akan saya jelaskan di beberapa artikel berikutnya, insya Allah. Di sisi lain, saya juga melihat akurasinya dalam memahami teks-teks lain yang menjadi dasar kajiannya itu.
Dengan pertimbangan di atas, sekaligus untuk menjawaban pertanyaan di atas, sebagai jalan tengah, saya hanya bisa mengatakan, bahwa kapabilitas Imaduddin Utsman al-Bantani masih bisa dimaksimalkan sebaik mungkin untuk memahami literasi berbahasa Arab secara argumentatif dan referensial.
Semoga bermanfaat. Amin!
Catatan Kaki
- https://kbbi.web.id/kapabilitas-atau-kemampuan. ↩︎
- https://kbbi.web.id/paham. ↩︎
- https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/Literasi. ↩︎
- Ibnu Zanjuwaih, al-Amwâl, ditahkik oleh Abu Muhammad al-Asyuthi, Dar al-Kutub al-Mishiryah, Beirut, Cet. I, 2006, Hal. 205-207. ↩︎
- Ibnu Katsir, al-Bidâyah wa an-Nihâyah, ditahkik oleh Suhail Zakkar, Dar Sader, Beirut, Cet. I, Vol. III, 2005, Hal. 767-770. ↩︎
- Al-Baqarah [2]: 183. ↩︎
- Penjelasan umum tentang perbedaan para pakar hadits tentang status hadits tersebut bisa Anda temukan di, https://www.ahmedsaidaldah.com/archives/7185. ↩︎
- Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahihu al-Bukhâriy, Kitâbu at-Tafsîr, Bab Illa al-Mawaddah fî al-Qurbâ, hadits nomor 4818, Dar Ibnu Katsir, Damaskus-Beirut, Cet. I, 2002, Hal. 1215. ↩︎
- Husain Muknis, Târîkh Quraisy, Dar ar-Rasyad, Kairo, Cet. III, 2007, Hal. 193. ↩︎
- Tentunya, sebagai manusia normal, saya tidak mengklaim bahwa akurasi yang telah saya lakukan adalah akurasi yang paling argumentatif dan referensial. Hati saya akan sangat merasa senang jika suatu saat ada orang yang mampu melakukan akurasi yang lebih argumentatif dan referensial dari pada yang telah saya lakukan. ↩︎
- Imaduddin Utsman al-Batani, Terputusnya Nasab Habaib Kepada Nabi Muhammad SAW, Maktabah Nahdlatul Ulum, Banten, Cet. I, 2023, Hal. 1-3. ↩︎
- Ibid, Hal. 2. ↩︎
- Tanda baca pada hadits di atas tidak ditemukan dalam buku Imaduddin Utsman al-Bantani. Saya tidak tahu mengapa dia tidak memberi tanda baca. Tapi, sebagai penulis yang menargetkan pembaca berbahasa Indonesia, seyogyanya setiap kata Arab diberi tanda baca karena tidak semua orang bisa membaca aksara-aksara Arab tanpa tanda baca, kecuali ada sesuatu yang sengaja disembunyikan. Saya memberi tanda baca tersebut agar pembaca artikel ini bisa mengucapkan kalimat tersebut dengan benar. ↩︎
- https://kbbi.web.id/cemburu. ↩︎
- https://www.almaany.com/ar/dict/ar-ar/%D8%BA%D9%8A%D8%B1%D8%A9/. ↩︎
- Imaduddin Utsman al-Batani, Op. Cit. Hal. 2. ↩︎
- https://www.almaany.com/ar/dict/ar-ar/%D8%B6%D8%A8%D8%B7/. ↩︎
- Imaduddin Utsman al-Bantani tidak menuliskan kata تَأْكِيْدٌ (dalam bahasa Arab) dalam buknya. Kata dalam bahasa Arab tersebut saya tulis di sini untuk memudahkan pembaca artikel ini untuk memahami kapabilitas penulis buku “Terputusnya Nasab Habaib Kepada Nabi Muhammad SAW” dalam memahami kata tersebut yang ada dalam pendapat al-Fahrurazi dalam buku “Asy-Syajarah al-Mubârakah”, yang menjadi dasar analisanya. ↩︎
- Imaduddin Utsman al-Bantanie, Op. Cit., Hal. 18. ↩︎
- Ibid, Hal. 17-18. ↩︎
- https://kbbi.web.id/kuat ↩︎
- https://www.almaany.com/ar/dict/ar-ar/%D8%AA%D9%8E%D8%A3%D9%92%D9%83%D9%90%D9%8A%D9%92%D8%AF%D9%8C/ dan https://www.almaany.com/ar/dict/ar-ar/%D8%A3%D9%8E%D9%83%D9%91%D9%8E%D8%AF%D9%8E/. ↩︎
- Imaduddin Utsman al-Bantanie, Op. Cit., Hal. 23. ↩︎
- https://kbbi.web.id/asumsi. ↩︎
- https://www.almaany.com/ar/dict/ar-ar/%D8%A5%D9%90%D8%AC%D9%92%D8%AA%D9%90%D9%87%D9%8E%D8%A7%D8%AF%D9%8C/. ↩︎