Getir Hadits dan Ilmu Hadits dalam Pikiran Imaduddin Utsman Al-Bantanie. Halo! Hadits dan ilmu hadits adalah dua istilah yang sudah tidak asing lagi di telinga kaum muslim, khususnya mereka yang berasal dari kalangan akademik. Disadari atau tidak, kaum muslim sangat membutuhkan dua hal tersebut sebagai dasar berislam, baik dalam tataran praktik ataupun teorinya.
Pemilihan tema “Getir Hadits dan Ilmu Hadits dalam Pikiran Imaduddin Utsman al-Bantanie” untuk artikel ini bermula ketika saya membaca tulisan Imaduddin Utsman al-Bantanie dalam buku “Terputusnya Nasab Habib Kepada Nabi Muhammad SAW”, bahwa palacakan siapa saja keturunan Nabi Muhammad Saw. sampai Ali al-Uraidli bisa dilakukan dengan melihat hadits.1 Tapi saya melihat, bahwa dalam penerapannya, Kyiai asal Banten itu melakukan kesalahan fatal yang tidak hanya merubah hadits dan ilmu hadits beserta fungsinya, tapi juga merusak salah satu argumentasi salah satu pembahasan dalam bukunya tersebut. Oleh karena itu, terlebih karena kesalahan fatal tersebut bekaitan dengan hadits dan ilmu hadits, maka pembahasan dalam artikel ini urgen untuk dilakukan!
Daftar Isi
Hadits dan Ilmu Hadits: Beberapa Hal Penting yang Tidak dipahami Secara Penuh dan Konsisten Oleh Imaduddin Utsman Al-Bantanie
Hal penting pertama tentang getir hadits dan ilmu hadits dalam pikiran Imaduddin Utsman al-Bantanie yang akan saya jelaskan sekarang adalah beberapa hal penting tentang hadits dan ilmu hadits yang tidak dipahami secara penuh dan konsisten oleh Imaduddin Utsman al-Bantanie. Saya merasa sangat perlu untuk menjelaskan itu semua di awal pembahasan ini agar semua hal yang berkaitan dengan dua hal tersebut bisa dipahami dengan baik.
Baca Juga:
Problem Kapabilitas Imaduddin Utsman Al-Bantanie dalam Memahami Literasi Berbahasa Arab
Sebelum saya menjelaskan lebih lanjut tentang hadits dan ilmu hadits yang tidak dipahami secara penuh dan konsisten oleh Kyai asal Banten itu, saya ingin mengutip kumpulan kalimat yang diperlukan untuk dijadikan contoh dalam penjelasannya. Tujuannya adalah agar semua yang akan saya jelaskan di beberapa paragraf selanjutnya tidak hanya berupa teori-teori definitif, tapi juga memiliki contoh kasusnya.
Adapun kumpulan kalimat yang saya maksud adalah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيْدٍ , قَالَ : أَخْبَرَنَا أَبُوْ عَوَانَةَ , عَنْ سِمَاكِ بْنِ حَرْب . (ح) وَحَدَّثَنَا هَنَّادٌ , قَالَ : وَحَدَّثَنَا وَكِيْعٌ , عَنْ إِسْرَائِيْلَ , عَنْ سِمَاكٍ , عَنْ مُصْعَبٍ بْنِ سَعْدٍ , عَنْ ابْنِ عُمَرَ , عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , قَالَ :” لَا تُقْبَلُ الصَّلَاةُ بِغَيْرِ طُهُوْرٍ , وَلَا صَدَقَةٌ مِنْ غُلُوْلٍ” . قَالَ هَنَّادٌ فِيْ حَدِيْثِهِ :” إِلَّا بِطُهُوْرٍ “. هَذَا الْحَدِيْثُ أَصَحُّ شَيْءٍ فِي هَذَا الْبَابِ وَأَحْسَنُ
Qutaibah bin Sa’di meriwayatkan kepada kami, dia berkata, “Abu ‘Awanah memberitahu kami, dari Simak bin Harb. (Imam ath-Tirmidzi meriwayatkan) Hannad meriwayatkan kepada kami, dia berkata, “Waki’ meriwayatkan kepada kami, dari Israil, dari Simak, dari Mush’ab bin Sa’d, dari Ibnu Umar, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, beliau berkata, “Shalat tidak diterima tanpa bersuci dan sedekah yang berasal dari kecurangan.” Hannad berkata dalam hadits (yang telah diriwayatkannya), “Kecuali dengan bersuci.” Hadits ini adalah hadits yang paling shahîh dan paling hasan dalam bab ini.2
1. Hadits.
Jika Anda membaca literasi keislaman tentang hadits dan ilmu hadits, maka Anda akan menemukan penjelasan bahwa definisi hadits akan berkutat pada hal-hal sebagai berikut:
الحَدِيْثُ هُوَ : مَا يُضَافُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Hadits adalah sesuatu yang dihubungkan kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
الحَدِيْثُ هُوَ : مَا جَاءَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Hadits adalah sesuatu yang datang dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam.3
الحَدِيْثُ هُوَ : مَا أُضِيْفُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ تَقْرِيْرٍ
Hadits adalah sesuatu yang dihubungkan kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, baik berupa ucapan atau perbuatan atau ketetapan.
Sekarang, jika hadits adalah sesuatu yang dihubungkan kepada (atau datang dari) Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, baik itu ucapan, perbuatan, atau ketetapan beliau, maka yang masuk kategori hadits dalam kumpulan-kumpulan kalimat di atas adalah sebagai berikut:
Pertama: لَا تُقْبَلُ الصَّلَاةُ بِغَيْرِ طُهُوْرٍ , وَلَا صَدَقَةٌ مِنْ غُلُوْلٍ dari jalur periwayatan dari Qutaibah bin Said.
Kedua: لَا تُقْبَلُ الصَّلَاةُ إِلَّا بِطُهُوْرٍ , وَلَا صَدَقَةٌ مِنْ غُلُوْلٍ dari jalur periwayatan dari Hannad.
Di sini saya menampakkan dua redaksi hadits yang berbeda tapi dengan arti yang sama karena Imam at-Tirmidzi mendapatkan dua redaksi yang berbeda dari dua jalur periwayatan: بِغَيْرِ طُهُوْرٍ dari jalur Qutaibah bin Said dan إِلَّا بِطُهُوْرٍ dari Jalur Hannad.
2. Ilmu Hadits.
Jika Anda ingin tahu definisi ilmu hadits, perhatikan penjelasan di bawah ini!
عِلْمُ الْحَدِيْثِ هُوَ : عِلْمٌ بِقَوَانِيْنِ يُعْرَفُ بِهَا أَحْوَالُ السَّنَدِ وَ الْمَتْنِ
Ilmu hadits adalah ilmu dengan aturan-aturan tertentu yang dengan itu semua kondisi sanad dan matan hadits bisa diketahui.4
Dari definisi ilmu hadits di atas kita tahu bahwa obyek kajian dalam ilmu hadits adalah sanad dan matan hadits. Karena itulah ada banyak cabang kajian dalam ilmu hadits terkait sanad dan matan. Tentunya, saya tidak akan menjelaskan itu semua sekarang. Pada artikel ini, saya akan menspesifikasinya ke dalam empat hal sebagai berikut:
- Sanad.
- Matan.
- Pendapat pakar hadits.
- Status hadits.
Adapun penjelasan singkat tentang empat hal di atas adalah sebagai berikut:
a. Sanad.
Jika Anda ingin tahu apa itu sanad, perhatikan penjelasan dibawah ini!
السَّنَدُ هُوَ : الإِخْبَارُ عَنْ طَرِيْقِ الْمَتْنِ
Sanad adalah memberitahu jalur matan.
Yang dimaksud jalur matan adalah kumpulan nama orang yang ada dalam periwayatan suatu hadits. Dalam konteks kumpulan kalimat yang pertama kali saya kutip di atas, yang masuk kategori sanad adalah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيْدٍ , قَالَ : أَخْبَرَنَا أَبُوْ عَوَانَةَ , عَنْ سِمَاكِ بْنِ حَرْب . (ح) وَحَدَّثَنَا هَنَّادٌ , قَالَ : وَحَدَّثَنَا وَكِيْعٌ , عَنْ إِسْرَائِيْلَ , عَنْ سِمَاكٍ , عَنْ مُصْعَبٍ بْنِ سَعْدٍ , عَنْ ابْنِ عُمَرَ , عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Perhatikan sanad di atas! Jika Anda memperhatikannya dengan detail, Anda akan paham bahwa Imam at-Tirmidzi memiliki dua sanad ketika meriwayatkan hadits di atas. Itu terbukti dengan adanya tanda “(ح)” yang berarti bahwa sang Imam memiliki sanad lain selain yang telah disebutkan.
Sanad pertama yang dimiliki Imam at-Tirmidzi adalah dari Qutaibah bin Said:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيْدٍ , قَالَ : أَخْبَرَنَا أَبُوْ عَوَانَةَ , عَنْ سِمَاكِ بْنِ حَرْب , عَنْ مُصْعَبٍ بْنِ سَعْدٍ , عَنْ ابْنِ عُمَرَ , عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Sedangkan sanad kedua yang dimiliki Imam at-Tirmidzi adalah dari Hannad:
وَحَدَّثَنَا هَنَّادٌ , قَالَ : وَحَدَّثَنَا وَكِيْعٌ , عَنْ إِسْرَائِيْلَ , عَنْ سِمَاكٍ (سِمَاكِ بْنِ حَرْب) , عَنْ مُصْعَبٍ بْنِ سَعْدٍ , عَنْ ابْنِ عُمَرَ , عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Perbedaan antara sanad pertama dan kedua yang dimiliki Imam at-Tirmidzi terletak pada nama-nama atau orang-orang sebelum Simak bin Harb (سِمَاكِ بْنِ حَرْب):
Pertama: pada sanad pertama, beliau meriwayatkan hadits dari Qutaibah bin Said, dari Abu ‘Awanah, dari Simak bin Harb (حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيْدٍ , قَالَ : أَخْبَرَنَا أَبُوْ عَوَانَةَ , عَنْ سِمَاكِ بْنِ حَرْب). Ada dua nama atau dua orang sebelum Simak bin Harb.
Kedua: pada sanad kedua, beliau meriwayatkan hadits dari Hannad, dari Waki’, dari Israil, dari Simak bin Harb (حَدَّثَنَا هَنَّادٌ , قَالَ : وَحَدَّثَنَا وَكِيْعٌ , عَنْ إِسْرَائِيْلَ , عَنْ سِمَاكٍ (سِمَاكِ بْنِ حَرْب)). Ada tiga nama atau tiga orang sebelum Simak bin Harb.
Adapun nama-nama atau orang-orang dalam sanad setelah Simak bin Harb adalah sama: Mush’ab bin Sa’d, dari Ibnu Umar, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam (عَنْ مُصْعَبٍ بْنِ سَعْدٍ , عَنْ ابْنِ عُمَرَ , عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ). Jadi, dua sanad yang dimiliki sang imam dari dua guru beliau (Qutaibah bin Said dan Hannad) bertemu pada Simak bin Harb.
Jadi, jika sanad dari Qutaibah bin Said dan hadits tersebut ditulis, maka jadinya adalah seperti di bawah ini:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيْدٍ , قَالَ : أَخْبَرَنَا أَبُوْ عَوَانَةَ , عَنْ سِمَاكِ بْنِ حَرْب , عَنْ مُصْعَبٍ بْنِ سَعْدٍ , عَنْ ابْنِ عُمَرَ , عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , قَالَ : لَا تُقْبَلُ الصَّلَاةُ بِغَيْرِ طُهُوْرٍ , وَلَا صَدَقَةٌ مِنْ غُلُوْلٍ
Sedangkan jika sanad dari Hannad dan hadits tersebut ditulis, maka jadinya adalah seperti di bawah ini:
وَحَدَّثَنَا هَنَّادٌ , قَالَ : وَحَدَّثَنَا وَكِيْعٌ , عَنْ إِسْرَائِيْلَ , عَنْ سِمَاكٍ (سِمَاكِ بْنِ حَرْب) , عَنْ مُصْعَبٍ بْنِ سَعْدٍ , عَنْ ابْنِ عُمَرَ , عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , قَالَ : لَا تُقْبَلُ الصَّلَاةُ إِلَّا بِطُهُوْرٍ , وَلَا صَدَقَةٌ مِنْ غُلُوْلٍ
Itulah penjelasan singkat tentang sanad dan contoh kasusnya!
b. Matan.
Jika Anda ingin tahu arti matan, perhatikan penjelasan di bawah ini!
المَتْنُ هُوَ : أَلْفَاظُ الْحَدِيْثِ الَّتِي تَتَقَوَّمُ بِهَا المَعَانِيُّ
Matan adalah kata-kata hadits yang dengan itu semua arti-arti terbentuk.5
Jadi, jika dalam konteks kumpulan kalimat yang saya kutip di atas, yang masuk kategori matan hadits adalah sebagai berikut:
Pertama: kata-kata yang ada dalam hadits “لَا تُقْبَلُ الصَّلَاةُ بِغَيْرِ طُهُوْرٍ , وَلَا صَدَقَةٌ مِنْ غُلُوْلٍ” dari jalur periwayatan dari Qutaibah bin Said. Selain itu semua tidak bisa disebut matan dari jalur periwayatan Qutaibah bin Said.
Kedua: kata-kata yang adalah hadits “لَا تُقْبَلُ الصَّلَاةُ إِلَّا بِطُهُوْرٍ , وَلَا صَدَقَةٌ مِنْ غُلُوْلٍ” dari jalur periwayatan dari Hannad. Selain itu semua tidak bisa disebut matan dari jalur periwayatan Hannad.
c. Pendapat Pakar Hadits.
Sejujurnya, saya belum menemukan keterangan literal tentang arti kalimat “Pendapat Pakar Hadits”. Meskipun demikian, jika kita mencermati tiga kata tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa arti kalimat tersebut adalah “buah pemikiran pakar hadits tentang suatu hadits”.
Dalam konteks kumpulan kalimat yang saya kutip di atas, yang masuk kategori pendapat pakar hadits adalah di bawah ini:
هَذَا الْحَدِيْثُ أَصَحُّ شَيْءٍ فِي هَذَا الْبَابِ وَأَحْسَنُ
Tentunya, pakar hadits yang mengucapkan pendapat di atas, yang saya maksud di sini adalah al-Imam al-Hafidh Abu Isa Muhammad bin Isa at-Tirmidzi.
d. Status Hadits.
Yang dimaksud “Status Hadits” di sini adalah keadaan atau keduddukan suatu hadits yang diberikan seorang pakar hadits setelah menganalisa hadits tersebut. Beberapa contoh status hadits adalah صَحِيْحٌ, مُتَوَاتِرٌ, مَوْضُوْعٌ, dan lain sebagainya.
Dalam konteks kumpulan kalimat yang saya kutip di atas, yang masuk kategori status adalah sebagai berikut:
أَصَحُّ شَيْءٍ فِي هَذَا الْبَابِ وَأَحْسَنُ
Itulah penjelasan singkat tentang hadits dan ilmu hadits serta beberapa contoh kasus yang perlu Anda pahami terlebih dahulu agar Anda membaca topik utama dalam pembahasan ini.
Getir Hadits dan Ilmu Hadits dalam Pikiran Imaduddin Utsman Al-Bantanie
Hal penting kedua tentang getir hadits dan ilmu hadits dalam pikiran Imaduddin Utsman al-Bantanie yang akan saya jelaskan sekarang adalah topik utama dalam pembahasan ini. Spesifiknya, saya akan mengajak Anda untuk melihat kapabilitas Imaduddin Utsman al-Bantanie dalam memahami kumpulan kalimat berbahasa Arab yang telah klaim sebagai hadits, yang kemudian dia jadikan sebagai dasar untuk menyimpulkan bahwa Husain mempunyai anak bernama Ali Zainal Abidin, dan bahwa Ali Zainal Abidin mempunyai anak bernamaMuhammad al-Baqir, dan bahwa Muhammad al-Baqir mempunyai anak bernama Ja‘far al-Shadiq, dan bahwa benar Ja‘far al-Shadiq mempunyai anak bernama Ali al-Uraidi.6
Tapi, apakah benar demikian? Apakah benar bahwa ada hadits yang menjelaskan bahwa Husain mempunyai anak bernama Ali Zainal Abidin, dan bahwa Ali Zainal Abidin mempunyai anak bernamaMuhammad al-Baqir, dan bahwa Muhammad al-Baqir mempunyai anak bernama Ja‘far al-Shadiq, dan bahwa benar Ja‘far al-Shadiq mempunyai anak bernama Ali al-Uraidi sebagaimana kesimpulan Kyai asal Banten itu?
Di bawah ini adalah tampilan layar kesimpulan Imaduddin Utsman al-Bantaie:
Sengaja saya melakukan screenshot bagian tersebut (saya mohon maaf jika itu dinilai melanggar etika) untuk membandingkan redaksi yang ada dalam buku Imaduddin Utsman al-Bantani dengan redaksi yang ada dalam buku aslinya. Di bawah ini adalah screenshot kumpulan-kumpulan kalimat Arab yang sama, yang ada dalam buku al-Jâmi’ al-Kabîr karya imam at-Tirmidzi atau Sunan at-Tirmidzi itu:
Ada beberapa hal yang ingin saya jelaskan secara singkat kaitannya dengan redaksi asli kumpulan kalimat Arab yang ada dalam buku al-Jâmi’ al-Kabîr karya imam at-Tirmidzi dengan apa yang telah dituliskan Imaduddin Utsman al-Bantanie itu:
Satu: Imaduddin Utsman al-Bantaine memahami dan menerjemahkan حَدَّثَنَا dengan “telah mengajarkan hadits kepada kami”.7 Bagi saya, pemahaman yang penerjemahan semacam itu perlu ditinjau ulang karena kalimat حَدَّثَنَا mengandaikan, bahwa Nashr bin Ali al-Jahdlami telah berkata kepada imam at-Tirmidzi tentang sanad yang telah terima, yang kemudian bermuara pada periwayatan hadits. Ada perbedaan yang mendasar atara “telah mengajarkan” dan “telah berkata”. Dengan kata lain, Kyai asal Banten itu perlu kiranya membaca lagi redaksi-redaksi yang kerap digunakan dalam periwayatn hadits, seperti حَدَّثَنَا, أَخْبَرَنِيْ, قَالَ, dan lain sebagainya.
Dua: dari dua screenshot kumpulan kalimat Arab, baik yang dari buku Imaduddin Utsman al-Bantanie atau sumber aslinya, kita bisa melihat perbedaan redaksi. Dalam buku Kyai asal Banten terdapat redaksi “قَالَ أَبُوْ عِيْسَى”, sementara di sumber aslinya tidak demikian. Saya pribadi tidak tahu apakah keberadaan redaksi “قَالَ أَبُوْ عِيْسَى” dalam buku Kyai asal Banten itu karena dia merujuk pada referensi yang bukan referensi pokoknya, atau karena dia punya versi refernesi yang lain. Tapi saya menduga bahwa sosok Abu Isa (أَبُوْ عِيْسَى) dalam redaksi dalam buku Kyai asal Banten tersebut adalah imam at-Timiridzi sendiri (Al-Imam al-Hafidh Abu Isa Muhammad bin Isa at-Tirmidzi).
Tiga: Imaduddin Utsman al-Bantani telah mereduksi kalimat “هَذَا حَدِيْثٌ حَسَنٌ غَرِيْبٌ” dengan memahami dan menerjemahkannya menjadi “hadis ini ghorib”.8 Tentunya, apa yang telah dilakukan Kyai asal Banten itu tidak bisa diterima karena هَذَا حَدِيْثٌ حَسَنٌ غَرِيْبٌ” mengandaikan adanya keterlibatan status “حَسَنٌ” dan status “غَرِيْبٌ” pada hadits yang dimaksud. Tapi dia mereduksinya hanya sebagai “غَرِيْبٌ”.
Sekarang saya ingin Anda fokus untuk melihat kapabilitas Imaduddin Utsman al-Bantanie dalam memahami kumpulan kalimat berbahasa Arab yang telah klaim sebagai hadits, yang kemudian dia jadikan sebagai dasar untuk menyimpulkan beberapa keturunan Nabi Muhammad Saw. itu.
Ngomong-ngomong, apakah Anda masih ingat klasifikasi kumpulan kalimat berbahasa Arab ke dalam kategori hadits, sanad, matan, pendapat pakar hadits, dan status hadits sebagaimana yang telah saya jelaskan di beberapa paragraf sebelumnya?! Sekarang saya akan mengajak Anda untuk melakuan itu sekali lagi untuk melihat kapabilitas Imaduddin Utsman al-Bantani dalam memahami teks tersebut. Dan, di bawah ini adalah kumpulan kalimat yang dimaksud yang berasal dari sumber aslinya:
حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ الْجَهْضَمِيُّ , قَالَ : حَدَّثَنَا عَلِيٌّ بْنُ جَعْفَرٍ بْنِ مُحَمَّدٍ بْنِ عَلِيٍّ , قَالَ : أَخْبَرَنِيْ أَخِيْ مُوْسَى بْنُ جَعْفَرٍ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيْهِ جَعْفَرٍ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيْهِ مُحَمَّدٍ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ أَبِيْهِ عَلِيٍّ بْنِ الْحُسَيْنِ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ عَلِيٍّ بْنِ أَبِيْ طَالِبٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخَذَ بِيَدِ حَسَنٍ وَحُسَيْنٍ فَقَالَ : ” مَنْ أَحَبَّنِيْ وَأَحَبَّ هَذَيْنِ وَأَبَاهُمَا وَأُمَّهُمَا كَانَ مَعِيْ فِيْ دَرَجَتِيْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ “. هَذَا حَدِيْثٌ حَسَنٌ غَرِيْبٌ لَا نَعْرِفُهُ مِنْ حَدِيْثِ جَعْفَرٍ بْنِ مُحَمَّدٍ إِلَّا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ
Nashr bin Ali al-Jahdlami berkata kepada kami, dia berkata, “Ali bin Ja’far bin Muhammad bin Ali berkata kepada kami, dia berkata, “Saudaraku, Musa bin Ja’far bin Muhammad telah memberitahuku dari ayahnya, Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya, Muhammad bin Ali, dari ayahnya, Ali bin Husain, dari ayahnya, dari kakeknya, Ali bin Abi Thalib, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memegang tangan Hasan dan Husain. Kemudian beliau bersabda, “Barangsiapa menyincatiku, menyintai dua anak ini, serta ayah dan ibu mereka berdua, maka dia akan bersamaku dalam derajatku pada hari Kiamat.”
Sekarang, jika Anda mencermati kumpulan kalimat berbahasa Arab di atas, mak klasifikasinya adalah sebagai berikut:
Sanad
Kumpulan kalimat berbahasa Arab di bawah ini disebut sebagai sanad karena berisi kumpulan nama orang yang ada dalam periwayatan suatu hadits:
حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ الْجَهْضَمِيُّ حَدَّثَنَا عَلِيٌّ بْنُ جَعْفَرٍ بْنِ مُحَمَّدٍ بْنِ عَلِيٍّ أَخْبَرَنِيْ أَخِيْ مُوْسَى بْنُ جَعْفَرٍ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيْهِ جَعْفَرٍ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيْهِ مُحَمَّدٍ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ أَبِيْهِ عَلِيٍّ بْنِ الْحُسَيْنِ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ عَلِيٍّ بْنِ أَبِيْ طَالِبٍ
Hadits Sekaligus Matan
Kumpulan kalimat di bawah ini disebut sebagai hadits karena berisi penjelasan tentang sesuatu yang dilakukan Nabi Muhammad (أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخَذَ بِيَدِ حَسَنٍ وَحُسَيْنٍ) dan sesuatu yang diucapkan beliau (مَنْ أَحَبَّنِيْ وَأَحَبَّ هَذَيْنِ وَأَبَاهُمَا وَأُمَّهُمَا كَانَ مَعِيْ فِيْ دَرَجَتِيْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ):
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخَذَ بِيَدِ حَسَنٍ وَحُسَيْنٍ فَقَالَ : مَنْ أَحَبَّنِيْ وَأَحَبَّ هَذَيْنِ وَأَبَاهُمَا وَأُمَّهُمَا كَانَ مَعِيْ فِيْ دَرَجَتِيْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Kumpulan kalimat berbahasa Arab di atas juga disebut sebagai matan karena berisi kata-kata hadits yang dengan itu semua arti-arti terbentuk.
Pendapat Pakar Hadits
Kumpulan kalimat di bawah ini sebut sebagai pendapat pakar hadits karena berisi penjelasan imam at-Tirmidizi tentang hadits tersebut:
هَذَا حَدِيْثٌ حَسَنٌ غَرِيْبٌ لَا نَعْرِفُهُ مِنْ حَدِيْثِ جَعْفَرٍ بْنِ مُحَمَّدٍ إِلَّا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ
Status Hadits
Dua kata di bawah ini disebut sebagai statsu hadits karena menjelaskan keadaan atau kedudukan suatu hadits yang diberikan seorang pakar hadits (imam at-Timridzi) setelah menganalisa hadits tersebut:
حَسَنٌ غَرِيْبٌ
Sekarang, setelah melakukan klasifikasi singkat tentang kumpulan kalimat berbahasa Arab yang ada dalam Sunan at-Tirmidzi dan buku Imaduddin Utsman al-Bantanie, kita bisa menyimpulkan bahwa Kyai asal Banten tersebut telah melakukan simplifikasi yang sangat fatal pada kumpulan kalimat berbahasa Arab tersebut. Dia memahami sanad, hadits sekaligus matan, pendapat pakar hadits, dan status hadits yang ada dalam kumpulan kalimat tersebut sebagai hadits. Dia telah memahami sanad hadits sebagai hadists, pendapat pakar hadits sebagai hadits, dan status hadits sebagai hadits. Saya katakan demikian karena secara spesifik dia menganggap kumpulan kalimat berbahasa Arab tersebut sebagai hadits yang menjelaskan bahwa Husain mempunyai anak bernama Ali Zainal Abidin, dan bahwa Ali Zainal Abidin mempunyai anak bernamaMuhammad al-Baqir, dan bahwa Muhammad al-Baqir mempunyai anak bernama Ja‘far al-Shadiq, dan bahwa benar Ja‘far al-Shadiq mempunyai anak bernama Ali al-Uraidi.9
Memang benar, dalam kumpulan kalimat berbahasa Arab tersebut ada bagian yang menjelaskan silsilah keturunan Husain bin Ali sampai Ali al-Uraidli. Tapi itu ada pada bagian sanad (حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ الْجَهْضَمِيُّ حَدَّثَنَا عَلِيٌّ بْنُ جَعْفَرٍ بْنِ مُحَمَّدٍ بْنِ عَلِيٍّ أَخْبَرَنِيْ أَخِيْ مُوْسَى بْنُ جَعْفَرٍ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيْهِ جَعْفَرٍ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيْهِ مُحَمَّدٍ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ أَبِيْهِ عَلِيٍّ بْنِ الْحُسَيْنِ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ عَلِيٍّ بْنِ أَبِيْ طَالِبٍ), bukan hadits atau matan (أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخَذَ بِيَدِ حَسَنٍ وَحُسَيْنٍ فَقَالَ : مَنْ أَحَبَّنِيْ وَأَحَبَّ هَذَيْنِ وَأَبَاهُمَا وَأُمَّهُمَا كَانَ مَعِيْ فِيْ دَرَجَتِيْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ), apalagi pendapat pakar hadits (هَذَا حَدِيْثٌ حَسَنٌ غَرِيْبٌ لَا نَعْرِفُهُ مِنْ حَدِيْثِ جَعْفَرٍ بْنِ مُحَمَّدٍ إِلَّا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ) dan status haditsnya (حَسَنٌ غَرِيْبٌ).
Tentunya, fakta di atas semakin menggerus kapabilitas Imaduddin Utsman al-Bantani dalam memahami literasi berbahasa Arab, atau hadits dan ilmu hadits dalam konteks pembahasan ini. Fakta tersebut juga menjelaskan ketidaksiapan Kyai asal Banten itu ketika berada di hadapan teks yang dia baca dan yang dia tulis.
Semoga bermanfaat!
Catatan Kaki
- Imaduddin Utsman al-Batani, Terputusnya Nasab Habaib Kepada Nabi Muhammad SAW, Maktabah Nahdlatul Ulum, Banten, Cet. I, 2023, Hal. 7. ↩︎
- Menurut Dr. Basyyar ‘Awwad Ma’ruf, pendapat tersebut perlu ditinjau kembali karena, menurut al-Mubarakfuri, hadits tentang paling shahih dalam bab bersuci (bab ath-Thaharah) adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Lihat, Al-Imam al-Hafidh Abu Isa Muhammad bin Isa at-Tirmidzi, al-Jâmi’ al-Kabîr, di-tahqîq, di-takhrîj, dan dikomentari oleh Dr. Basyyar ‘Awwad Ma’ruf, Dar al-Gharb al-Islamiy, Beirut, Vol. I, Cet. I, Hal. 51. (PDF). ↩︎
- Al-Hafidh Jalaluddin as-Suyuthi, Tadrîbu ar-Râwiy fî Syarhi Taqrîbi an-Nawâwiyy, di-tahqîq oleh Abu Qutaibah Nadhar Muhammad al-Faryabi, Muassasah ar-Rayyan, Beirut, Cet. II, 2009, Hal. 11. ↩︎
- Ibid, Hal. 9. ↩︎
- Ibid, Hal. 11. ↩︎
- Imaduddin Utsman al-Batani, Op. Cit., Hal. 7, 11, dan 12. ↩︎
- Ibid, Hal. 11. ↩︎
- Ibid, Hal. 12. ↩︎
- Ibid, Hal. 7, 11, dan 12. ↩︎